peranan perbankan dan perekonomian indonesia

TUGAS 2

 

Nama  : Jacob Salim

NPM   :30209755

Kelas   : 3DD04

 

abstrak

Kata Kunci : fungsi intermediasi, pertumbuhan ekonomi

Pembangunan pada sektor keuangan khususnya perubahan struktur perbankan Indonesia diharapkan mampu meningkatkan perekonomian sebab lembaga keuangan, khususnya lembaga perbankan mempunyai peranan yang amat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian suatu negara. Pada masa pemulihan ekonomi bank masih belum secara optimal melakukan fungsi utamanya sebagai intermediasi keuangan yang digambarkan oleh angka perbandingan jumlah kredit yang disalurkan dengan dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan atau lazim disebut dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Berdasar rumusan yang ada, maka dapat dikemukakan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui : pengaruh fungsi intermediasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dalam pengumpulan datanya, penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia dan Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pada hasil penelitian, peneliti menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression).

Dari hasil pengolahan data atau analisis data dapat diketahui : fungsi intermediasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fungsi intermediasi perbakan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tetapi tingkat pengaruhnya besar. Sehingga dalam periode ini fungsi intermediasi perbankan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, itu terlihat saat menurunnya  penyaluran kredit karena perbankan berhati-hati dalam penyaluran kredit maka pertumbuhan ekonomi megalami perlambatan. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan menambah variabel yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menggunakan periode penelitian yang terbaru sehingga hasil penelitian akan lebih akurat dan relevan.

Pradita, Mokhamad Yanuar. 2010. Pengaruh Fungsi Intermediasi Perbankan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Skripsi, Program Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang.  Pembimbing : (1) Dr. Sugeng Hadi Utomo, M.Ec. (2) Farida Rahmawati, S.E, M.E

 tugas,fungsi,dan peran bank dalam perekonomian

Ø TUGAS – TUGAS BANK

Tugas – tugas bank antara lain :

Ø  Memberikan kredit ( pinjaman ) kepada orang atau badan usaha yang membutuhkannya. Kredit ini untuk tujuan kegiatan yang produktif dan dapat diberikan dengan kredit  jangka panjang, kredit jangka menengah serta kredit jangka pendek.

Ø  Menarik uang dari masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dapat menyimpan uang yang tidak atau belum dipergunakan dalam bentuk rekening koran giro, deposito berjangka, Tabanas dan lain-lain.

Ø  Memberikan jasa-jasa  dalam bidang lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Jasa ini dapat berupa pengeluaran cek pengiriman uang, membeli dan menjual wesel, penukaran valuta asing ( mata uang asing ) dan sebagainya.

Ø  Kegiatan lain, misalnya memberikan jaminan bank, menyewakan tempat untuk menyimpan barang-barang berharga.

Ø FUNGSI BANK

Fungsi-fungsi Bank antara lain :

Ø  Lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat

Ø  Lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam bentuk kredit

Ø  Lembaga yang memperlancar transaksi perdagangan dan pembayaran uang

Ø  Memperlancar mekanisme pembayaran

Ø  Berkaitan dengan pemberian fasilitas atau kemudahan mengenai aliran dana dari yang kelebihan kepada yang membutuhkan dana.

Ø PERANAN BANK

  1. Peranan Bank di dalam negeri adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dalam arti bahwa, semua kegiatan oleh bank itu menyangkut soal uang kegiatan-kegiatan itu meliputi : adminitrasi keuangan, penggunaan uang, penampungan uang, perdagangan dan penukaran, perkreditan, kiriman uang dan pengawasan.
  2. Peranan Bank di luar negeri yaitu merupakan antara dunia international dalam lalu lintas devisa ( uang ), hubungan moneter dan perdagangan.

Hubungan antara bank-bank di dalam dan di luar negeri, memungkinkan berlangsungnya impor dan ekspor, kiriman uang, kepariwisataan dan lain-lain.

Peranan bank di dalam negeri dapat dijelaskan sebagai berikut :

a.    Bank sebagai pembimbing masyarakat

Pembimbing di sini maksudnya agar masyarakat selalu berorientasi pada bank atau agar masyarakat menggunakan jasa perbankan di dalam pengelolaan usahanya.

Bimbingan bank tersebut misalnya terdiri dari upaya mendorong hasrat menabung dari masyarakat dalam bentuk :

Ø  Deposito Berjangka

Gerakan tabungan dalam bentuk deposito, memberikan bimbingan kepada masyarakat agar mereka tidak menghabiskan begitu saja seluruh pendapatnya, tetapi menyisihkan sebagian pendapatannya untuk disimpan dalam bentuk Deposito Berjangka.

Ø  Rekening Koran Giro

Bedanya dengan penyimpanan Deposito yaitu, jika Rekening Koran Giro dapat disetor dan diambil setiap waktu dan kalau deposito pengambilannya harus menunggu tanggal jatuh temponya.

Manfaat menyimpan uang dalam rekening koran giro ialah :

a.    Pencatatan dana perusahaan menjadi lebih teratur, setiap uang yang dikeluarkan cukup dilakukan dengan cek.

b.    Pengelolaan uang tunai menjadi lebih mudah, karena tidak perlu lagi menghitung lembaran-lembaran tunai yang ada.

c.    Keamanan uang perusahaan akan lebih terjamin, karena terhindari dari bahaya pencurian, perampokan, peyalahgunaan, kebakaran dan sebagainya.

Bentuk bimbingan lainnya adalah pada proses pengambilan kredit oleh masyarakat. Dalam hal ini bank akan memberikan nasehat obyektif dan bantuan berupa kredit bagi pengusaha yang berminat. Nasehat tersebut dapat berupa penglolaan manajemen peusahaan, jumlah produksi yang optimal , jenis dan jumlah dana yang sebaiknya ditarik serta bagaimana memasarkan produk perusahaan.

Ø  PERAN DAN FUNGSI BANK DALAM

     SISTEM PEREKONOMIAN

Fungsi bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga guna meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi serta untuk mencegah terjadinya bank runs and panics. Kepercayaan masyarakat juga diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya sekaligus, Industri perbankan di Indonesia telah mengalami masalah-masalah yang apabila diamati akar penyebabnya (root causes) adalah lemah dan tidak diterapkannya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

Hal ini menyebabkan industri perbankan tidak dapat secara berhati-hati (prudent) menyerap pertumbuhan risiko kredit dan harga domestik yang cepat berubah. Sementara itu, tidak transparannya praktik dan pengelolaan (practices and governance) suatu bank mengakibatkan badan pengawas sulit mendeteksi praktik kecurangan yang dilakukan oleh pengurus dan pejabat bank. Tantangan lain yang dihadapi bank adalah berpalingnya nasabah tradisional bank kepada sumber pembiayaan lain.

Tersedianya banyak alternatif sumber dana bagi perusahaan-perusahaan besar yaitu antara lain dari perusahaan-perusahaan modal ventura, perusahaan-perusahaan leasing, perusahaan-perusahaan hire-purchase, perusahaanperusahaan anjak piutang, perusahaan-perusahaan forfeiting, pasar uang, dan pasar modal dengan berbagai debt instrumentsnya seperti promissory notes dan obligasi serta equity instrumentnya mempertajam persaingan yang dihadapi bank. Sementara itu, larangan terhadap bank untuk melakukan kegiatan di pasar modal mempersempit kemampuan bank dalam menyalurkan dananya sehingga menjadi alasan bagi bank untuk melakukan kegiatan pada pemberian kredit yang berisiko tinggi yang pada gilirannya berakibat pada keamanan dan kesehatan industri perbankan. Masalah paling berat yang dihadapi industri perbankan dan badan pengawas bank adalah kelalaian pengurus bank serta penipuan dan penggelapan yang mereka lakukan.

Hal ini dapat dilihat dari praktik para bankir antara lain berupa besarnya kredit yang disalurkan kepada kelompok usahanya sendiri. Pemberian kredit kepada kelompok usaha sendiri tersebut sering kali tidak diiringi dengan analisis pemberian kredit yang sehat. Padahal praktik seperti ini pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai penipuan. Untuk mendapatkan dan atau mempertahankan kepercayaan masyarakat, industri perbankan harus diatur dan diawasi dengan ketat baik melalui peraturan langsung (direct regulation) maupun peraturan tidak langsung (indirect regulation). Peraturan langsung bertujuan mengurangi kewenangan pengurus bank dalam menjalankan kegiatan usaha. Bank misalnya dilarang memberikan kredit kepada suatu perusahaan melebihi  prosentase tertentu dari modalnya. Sedangkan peraturan tidak langsung didasarkan pada pemberian insentif yang bertujuan mempengaruhi sikap tertentu dari pengurus bank, misalnya melalui penerapan peraturan mengenai persyaratan risk-based capital.

Beberapa prinsip dapat dijadikan landasan dalam menyusun peraturan perbankan yaitu: efisiensi, keadilan sosial, pengembangan sistem, dan pemeliharaan institusi. Tujuannya adalah untuk menciptakan perbankan yang aman dan sehat (safe and sound banking). Untuk mencapai tujuan tersebut kepada badan pengawas bank perlu diberi

kewenangan luas untuk mengatur dan mengawasi industri perbankan. Kewenangan

tersebut antara lain berupa kewenangan menetapkan berapa besarnya modal yang harus dimiliki, berapa besarnya pinjaman yang dapat diberikan kepada suatu perusahaan, siapa yang boleh menjadi pengurus bank dan sebagainya.

Kewenangan mengawasi diberikan dengan tujuan untuk memonitor apakah bank melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlu pula dikaji untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada badan pengawas. Kewenangan tersebut bertujuan untuk melindungi nasabah, melindungi perekonomian dan menjaga tidak terjadinya konsentrasi bisnis. Perlindungan terhadap nasabah merupakan alasan paling dasar untuk mengawasi bank karena nasabah merupakan target yang mudah bagi pencurian oleh pengurus bank.

ejak diundangkannya otonomi daerah, bagaimana perkembangan pembangunan ekonomi di daerah? Apakah implementasi otoda telah dilaksanakan dengan baik? Apa peranan Perbankan agar pembangunan sektor ekonomi dapat lebih cepat? Saya akan mencoba mengulas masalah tersebut dari sisi pandangan saya.
Dari berbagai kunjungan tugas ke daerah, saya mencoba berkeliling untuk melihat bagaimana perkembangan sektor riil di daerah. Pengamatan ini memang belum bisa dilihat atau dibuktikan dari data statistik, namun dari pengamatan dilapangan telah menunjukkan adanya perubahan, serta gairah para pelaku ekonomi di pasar.
1. Implementasi Undang-undang Otonomi daerah
Undang-undang no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah (selanjutnya disingkat otoda) di Indonesia. Undang-undang no.32 tahun 2004 pasal 1 butir 5 menyatakan “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Suatu perwujudan asas desentralisasi dan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.”
2. Implikasi otoda terhadap sektor perbankan di daerah
Pelaksanaan otoda akan mempengaruhi sektor perbankan di daerah. Peran dan fungsi perbankan sangat penting, dan diharapkan dapat menghidupkan dan memacu perekonomian daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan otoda, perbankan di daerah mau tak mau akan mendapatkan efeknya, antara lain semakin banyaknya dana yang berada atau ditanamkan pada sektor perbankan di daerah. Dana ini harus dimanfaatkan, karena suku bunga pinjaman yang harus dibayar perbankan akan cukup besar, dan hanya mungkin bisa menutup biaya overhead apabila perbankan dapat menyalurkan dana tersebut masuk ke sektor riil. Melihat kondisi ini, perbankan harus benar-benar mampu dan mengetahui kondisi makro ekonomi di daerah, sebagai dasar membuat kebijakan pemberian pinjaman, penetapan suku bunga, serta pemasaran produk dan jasa perbankan.
3. Bagaimana peran perbankan dalam menunjang perkembangan ekonomi di daerah?
Kompas tanggal 24 Agustus 2007 hal 1 memberitakan, bahwa pada awal triwulan II tahun 2007, posisi total simpanan seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia yang ditempatkan di Perbankan sekitar Rp.96 triliun. Sebagian besar simpanan Pemda biasanya ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah masing-masing. Penempatan dana Pemda dalam bentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia), tertinggi oleh Pemda Riau sebesar Rp. 6.575 miliar, diikuti oleh Pemda Jawa Timur sebesar Rp. 5.660 miliar dan Pemda Kalimantan Timur sebesar Rp. 5.480 miliar.
Melihat besarnya dana yang masih disimpan dalam bentuk SBI, menunjukkan bahwa anggaran Pemda belum digunakan secara lancar, dan di satu sisi Pemerintah mendapat tambahan beban dengan memberikan bunga atas SBI. Apabila dana tersebut dapat segera disalurkan untuk pembangunan, maka diharapkan pembangunan didaerah akan segera terwujud, dan mendorong pertumbuhan sektor riil di daerah tersebut.
Mengabaikan polemik yang terjadi, mengapa masih banyak dana Pemda tersimpan di SBI, maka dari data di atas terlihat bahwa peran serta Perbankan di daerah sangat penting. Agar Perbankan dapat ikut berperan serta dalam penyaluran dana ke sektor-sektor pembangunan yang langsung berdampak pada pembangunan sektor riil, maka Perbankan di daerah juga harus menyiapkan personalnya serta membangun “Credit Culture” agar dana yang disalurkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas.
Apakah yang dimaksud dengan Credit Culture?
Credit culture meliputi 4 P, yaitu:
Phylosophy. Yang harus diperhatikan dalam filosofi pemasaran produk dan jasa bank, adalah: Vision, Mision, High Return High Risk, Aggresive Growth dan Credit Quality.
Policy. Unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah : a) Risk Averse, yang terdiri dari ; CRM (Credit Risk Management), CaR (Capital at Risk), serta level risiko. b) Risk taker, adalah sampai seberapa jauh Bank dapat mengambil risiko, yang telah dimitigasi sebelumnya.
Prosedure. Bagaimana organisasi Bank ( berdasar segmen bisnisnya, regional/branch), sophisticated atau simple.
People. Bagaimana: quality, experience, dan decision maker nya.
Dari kunjungan beberapa kali ke daerah, menurut pengamatan saya, hal utama yang harus ditingkatkan adalah dari unsur people. Mengapa? Karena unsur keberhasilan sebuah Bank terutama ditentukan oleh manusianya. Sebagus apapun sistem dan prosedur yang ada, tanpa diimbangi oleh manusia yang berkualitas, semua tak ada gunanya.
Bagaimana Perbankan didaerah dapat meningkatkan kualitas orang-orangnya? Peningkatan kualitas ini bisa dilakukan, antara lain dengan: pendidikan, perbaikan sistem reward dan punishment, sehingga para staf yang berada di ujung tombak dapat memberikan pelayanan prima, dapat melihat usaha mana yang layak dibiayai, serta bagaimana mitigasi risikonya.
Pada dasarnya kualitas seseorang sangat ditentukan oleh experience atau jam terbang. Bank dapat membuat tahapan-tahapan risiko yang dapat diterima, didasarkan pada experience dan kompetensi staf, misalkan dengan memberikan limit exposure, serta pemberian delegasi wewenang melakukan putusan berdasar kompetensinya.
Dapat dipahami bahwa Perbankan di daerah, seperti halnya Bank Pembangunan Daerah (BPD), karena lokasinya, jarang terlibat dengan pemberian kredit dalam skala besar. Untuk mengatasi hal ini, BPD dapat dilibatkan dalam pemberian kredit skala menengah ke atas (mis. kredit untuk pembangunan infrastruktur dll), dengan sistem kredit sindikasi. Artinya BPD bersama dengan Bank-bank lain yang telah mempunyai pengalaman, dapat duduk bersama membiayai suatu proyek, dari sini BPD dapat belajar dari sesama anggota sindikasi bagaimana cara menilai suatu proyek, sampai dengan membuat term and condition suatu pinjaman, agar pinjaman dapat berjalan lancar, dan proyek dapat selesai sesuai target yang ditetapkan.
Bagaimana dengan pemberian pinjaman skala kecil, yang menurut pengamatan saya potensi nya sangat besar di daerah. BPD dapat membuat berbagai segmen bisnis, serta sistem dan prosedurnya dibuat didasarkan segmentasi tersebut. Untuk nasabah kecil (mikro dan ritel), yang risikonya kecil, sistem prosedur untuk mengakses ke dalam perbankan dapat dipermudah, namun di sisi lain para Analis Kredit (Account Officer atau AO) harus bisa melakukan penilaian secara personal approach, yang didasarkan atas kelayakan usaha. Disadari bahwa para pengusaha kecil ini pada umumnya belum bisa membuat laporan keuangan, serta belum dapat membuat proposal untuk mengajukan pinjaman ke Bank. Disinilah tugas para Account Officer untuk membantu para nasabah, karena putusan pinjaman tetap harus melalui prosedur baku dan didokumentasikan. AO dapat berperan sebagai konsultan, dan mengingat peranan AO seperti ini, Bank harus membuat Sistem Prosedur yang mengandung built in control, serta pemilihan AO yang berkualitas, agar sasarannya dapat dicapai.
Dengan mendorong perbankan di daerah ikut berperan serta secara aktif, diharapkan pembangunan ekonomi daerah dapat terwujud, karena merekalah yang tahu kondisi dan situasi lingkungan di daerah.
Sumber bacaan:
Kompas, 24 Agustus 2007 hal.1. Paculah Ekonomi daerah: Tak bisa dipahami tingkat kemiskinan tinggi, tetapi dana ditaruh di Bank.
Herawati. Strategi mempertahankan dana Pemda sehubungan dengan implementasi undang-undang otonomi daerah (studi kasus di bank X). Makalah yang disampaikan pada Sespibank, LPPI
Dari berbagai sumber (bahan ceramah, mengajar dan berbagai sumber bacaan)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang

“Economic Hit Men (EHM) adalah profesional berpenghasilan sangat tinggi yang menipu negara-negara di seluruh dunia triliunan dolar. Mereka menyalurkan uang dari Bank Dunia, USAID, dan organisasi “bantuan” luar negeri lainnya menjadi dana korporasi-korporasi raksasa dan pendapatan beberapa keluarga kaya yang mengendalikan sumber-sumber daya alam di planet bumi ini. Sarana mereka meliputi laporan keuangan yang menyesatkan, pemilihan yang curang, penyuapan, pemerasan, seks dan pembunuhan. Mereka memainkan permainan yang sama tuanya dengan kekuasaan, sebuah permainan yang telah menentukan dimensi yang baru dan mengerikan selama era globalisasi. Aku tahu itu, aku adalah seorang Economic Hit Men.” (Perkins, 2005)

Kutipan di atas merupakan pengakuan dari John Perkins, seorang ahli ekonomi yang mengaku telah melakukan pekerjaan “kotor” kepada negara-negara berkembang di seluruh dunia dengan label kebaikan dan iming-iming uang “bantuan” dari lembaga-lembaga keuangan internasional, dan salah satu yang terbesar adalah Bank Dunia. Pengakuan ini merupakan satu dari sekian banyak kontroversi yang meliputi Bank Dunia, baik anggota di dalamnya, tujuan didirikannya, aliran dana yang dikucurkannya, hingga program-program “bantuan” keuangannya bagi negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.

Berdasarkan catatan sejarah, Bank Dunia sendiri sebenarnya didirikan bersama-sama Dana Moneter Internasional (IMF) di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tahun 1944. Tujuannya saat itu adalah menghindari terulangnya Great Depression akibat terjadinya perang dunia kedua. Dengan kata lain, awal pendiriannya ditujukan untuk ikut membangun stabilitas ekonomi global, terutama akibat peperangan ataupun bencana alam. Namun dalam perjalanannya, tujuan ini telah bergeser dan kini aktivitas Bank Dunia justru seringkali menimbulkan kontroversi.

Bagi Indonesia sendiri, pembangunan dalam negeri serta perekonomian dan perpolitikan nasional tidak dapat dipisahkan dari Bank Dunia. Sebagai contoh, kita tentu masih ingat beberapa waktu lalu polemik politik nasional seputar kasus “Century” diredam dengan terpilihnya Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia dengan gaji sebesar US$347.000 per tahun ditambah tunjangan pensiun sebesar US$52.752 dan tunjangan lain-lain sebesar US$76.698 (Susanto, 2010). Selain itu, jumlah pinjaman Bank Dunia kepada Indonesia juga cukup besar, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hingga tahun 1998 saja, nilai pinjaman Bank Dunia untuk Indonesia sudah menyentuh nilai 25,4 milliar dollar AS (Hutagalung, 2009). Dengan nilai pinjaman sebesar itu, bahkan lebih besar, tentu saja Bank Dunia dan kebijakan-kebijakannya menjadi bagian yang saling terikat erat dengan pembangunan Indonesia.

Hukum universal menyatakan bahwa setiap ada aksi, akan ada reaksi, setiap ada dukungan (pro), akan ada perlawanan (kontra). Hal itu pula yang terjadi terkait “bantuan” dana yang mengalir dari Bank Dunia untuk Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pandangan mengenai dampak positif dan negatif dari “bantuan” dana dari Bank Dunia, khususnya bagi Negara Indonesia. Selain karena topik ini menarik untuk dibahas, juga merupakan sesuatu yang penting bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia ke depan, dengan atau tanpa campur tangan Bank Dunia.

1.2.  Tujuan

Selain dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Bisnis Internasional program pascasarjana Magister Manajemen Bisnis IPB, tulisan ini juga bertujuan memberikan pandangan mengenai dampak positif dan negatif bantuan dana Bank Dunia, khususnya kepada Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  BANK DUNIA

IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) atau yang lebih dikenal Bank Dunia semula didirikan dalam rangka membantu negara-negara yang rusak akibat perang untuk melakukan transisi lewat rekonstruksi. Namun, dalam perkembangan situasi dunia yang relatif tidak diwarnai perang lagi, fungsi bank pun bergeser. Tidak lagi memprioritaskan proyek rekonstruksi, tetapi lebih sebagai channel untuk menyalurkan dana dari negara-negara kaya untuk pembangunan ekonomi negara-negara berkembang atau negara lebih misikin yang membutuhkan (Halwani, 2005).

Pentingnya keberadaan negara ini diakui sangat dirasakan negara berkembang yang pernah menerima bantuan atau pinjaman. Bukan saja karena dana yang disalurkan lebih besar dari lembaga keuangan internasional lainnya, tetapi dibandingkan dengan pinjaman lembaga keuangan komersial, pinjaman Bank Dunia bunganya relatif lebih rendah, yakni disesuaikan dengan bunga yang harus dibayar lembaga itu atas dana yang diperoleh dari pasar modal dunia. Selain itu, juga berjangka pengembalian lebih lama, yakni 20 tahun atau kurang dengan masa tenggang hingga lima tahun (Halwani, 2005).

Karena itu, pinjaman lembaga antarnegara yang didirikan sebagai hasil konferensi Bretton Woods (di New Hampshire, AS) tahun 1944 dan terikat dengan PBB ini sudah tentu relatif lebih aman bagi nasabah yang juga para anggota-anggota Bank Dunia (sekaligus harus juga menjadi anggota IMF), termasuk jika dibandingkan dengan pinjaman IMF. Selama tidak ada unsur perekonomian di dalamnya yang dianggap merugikan kepentingan dalam negeri, bantuan Bank Dunia tidak dianggap kontroversial sifatnya (Halwani, 2005).

Bank Dunia dan IMF didirikan pada saat dan tempat yang sama, yaitu pada tahun 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, sehingga keduanya sering juga disebut the Bretton Woods Institution (BWIs). Situasi perekonomian dunia yang tidak menentu selama berkecamuknya perang dunia kedua dan pascaperangnya menyebabkan adanya kecemasan akan berulangnya kembali Great Depression (1930). Dengan latar belakang inilah kedua lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan utama untuk ikut membantu stabilitas ekonomi global (Hutagalung, 2009).

Bank Dunia dibentuk pada awalnya untuk membiayai pembangunan kembali Eropa pascaperang dunia kedua. Fungsi tersebut kemudian berkembang menjadi lebih luas. Tidak lagi terbatas pada upaya akibat rekonstruksi perang, tetapi juga meliputi pembiayaan rehabilitasi akibat bencana alam, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta rehabilitasi ekonomi setelah masa konflik antarnegara. Bank Dunia menyediakan dana-dana yang bersifat lunak (concessional), yang syaratnya lebih lunak dari pinjaman komersial. Saat ini Bank Dunia lebih memfokuskan programnya pada upaya pengentasan kemiskinan global, terutama dalam rangka mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 (Hutagalung, 2009).

Selama rentang waktu tiga puluh tahun (1967-1998) dukungan Bank Dunia dalam pembangunan di Indonesia mencapai lebih dari 24 milliar dollar AS. Dari jumlah itu, sektor infrastruktur mengambil porsi pinjaman terbesar, yaitu 40 persen. Selanjutnya adalah sektor pertanian sebesar 19 persen, diikuti sektor pendidikan, kesehatan, gizi, dan kependudukan sebesar 13 persen, serta sektor pembangunan perkotaan, air bersih, dan sanitasi yang mencapai 10 persen (Hutagalung, 2009).

Hutagalung (2009) menyatakan bahwa pada dekade 80-an, Bank Dunia mengawali program bantuannya bagi restrukturisasi sektor keuangan, sejalan dengan upaya pemerintah menderegulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Sedangkan pada kurun waktu 1990-1998, Bank Dunia memberi perhatian yang lebih besar pada masalah lingkungan hidup. Dalam beberapa kasus, Bank Dunia menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai prasyarat pinjaman di sektor tertentu. Misalnya, pada pinjaman untuk sektor pertanian, Bank Dunia mengaitkan pinjaman dengan masalah penghutanan kembali (reforestration) yang memang dipandang mendesak untuk segera dilakukan. Keberatan dari pihak Indonesia kemudian berujung pada pengurangan pinjaman di sektor pertanian (hal ini juga menjelaskan mengapa porsi pinjaman sektor pertanian semakin menurun). Perincian alokasi pinjaman Bank Dunia per sektor (tahun 1969-1998) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alokasi pinjaman Bank Dunia per sektor antara tahun 1969-1998 (Hutagalung, 2009)

Sektor US$ juta 1969-1998 %1969-1998 %1969-1979 %1980-썆 %1990-1998
Infrastruktur (listrik, migas, telkom, transport) 10,196 40,2 36,9 34,3 46,9
Pertanian 4,880 19,2 34,8 24,7 9,5
Pendidikan, kesehatan, kependudukan, gizi 3,301 13,0 7,3 11,6 16,0
Perkotaan, sanitasi, dan air bersih 2,624 10,4 6,1 6,6 15,1
Keuangan 1,818 7,2 6,6 10,4 4,2
Penyesuaian 1,200 4ƿ 0 8,7 2,2
Lain-lain 1,351 5,3 8,3 3,7 6,1
Total 25,370 100,0 100,0 100,0 100,0

Dalam sepuluh tahun terakhir (dekade 1990-an) telah terjadi perubahan mendasar dalam pinjaman Bank Dunia, yaitu terutama semakin meningkatnya investasi/alokasi pinjaman pada pembangunan pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan pembangunan sosial. Hal ini selaras dengan misi Bank Dunia untuk memerangi kemiskinan seperti yang tertuang dalam MDGs 2015. Selain itu, ada juga perubahan dalam hal pola pemberian pinjaman, terutama pada saat Indonesia dalam krisis keuangan, yaitu pinjaman yang diberikan tidak hanya untuk pinjaman proyek (project loan), tetapi juga semakin meningkatnya pinjaman program (program loan) yang porsinya cukup besar dan langsung masuk dalam APBN sebagai budgetary support (Hutagalung, 2009).

Untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan dana pinjaman, Bank Dunia terus melakukan perbaikan dalam mendesain proyek-proyeknya, memperkuat pengawasan dan good governance, mendukung reformasi di bidang pengadaan barang dan jasa (procurement), serta manajemen keuangan negara. Dari total utang Indonesia sejumlah 25,4 milliar dollar AS, 23,6 milliar dollar AS di antaranya telah dicairkan dan 12,4 milliar dollar AS telah dibayarkan kembali kepada Bank Dunia. Proyek pinjaman Bank Dunia yang sedang berjalan meliputi 39 proyek. Secara umum, jumlah utang Indonesia ke Bank Dunia telah menurun tajam dan tren ini diharapkan terus berlangsung sehingga ketergantungan pada pinjaman luar negeri dapat berkurang (Hutagalung, 2009). Kemudian, komitmen Bank Dunia untuk tahun fiskal 2000-2003 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komitmen Bank Dunia tahun fiskal 2000-2003 (Hutagalung, 2009)

Tahun Fiskal Nama Proyek BRD IDA Total
2000 Decentralised Agriculture and Forestry Extension Project 13,0 5,0 18,0
Provincial Health Project 38,0 38,0
Second watersupply for low income community project 77,4 77,4
Total tahun fiskal 13,0 120,4 133,4
2001 Kecamatan Development Project 48,2 48,2
Library Development Project 4,1
Second Provincial Health Project 63,2 40,0 103,2
Second KDP 208,9 111,3 320,2
Western Java Environment Management Project 11,7 5,8 17,5
Total tahun fiskal 283,8 209,4 493,2
2002 Eastern Indonesia Region Transport Project 200,0 200,0
Global Development Learning Network Project 2,7 2,7
Second Urban Poverty Project 29,5 70,5 100,0
Total tahun fiskal 232,2 70,5 302,7
2003 Water Resources and Irrigation Sector Management Project 45,0 25,0 70,0
Healh workforce and service project 31,1 70,5 101,6
Java-Bali power sector restructuring and strengthening project 141,0 141,0
Third KDP 204,3 45,5 249,8
Total tahun fiskal 421,4 141,0 562,4

Hutagalung (2009) menyatakan bahwa dalam tahun fiskal 2002-2003, program Bank Dunia di Indonesia terfokus pada penurunan tingkat kemiskinan dengan pendekatan desentralisasi. Tiga area utamanya adalah: (1) melanjutkan pemulihan ekonomi, (2) menciptakan pemerintahan yang bertanggung jawab dan transparan, (3) menyediakan pelayanan umum yang lebih baik, terutama dari kelompok miskin. Pinjaman tersebut terutama difokuskan pada penyediaan pelayanan sosial dan infrastruktur untuk kaum miskin dengan keterlibatan pemerintah dan masyarakat lokal, melalui program Kecamatan Development Program (KDP).

Tabel 3. Fokus bantuan Bank Dunia tahun 썔-2007 (Hutagalung, 2009)

Fokus Capaian
Perbaikan Iklim Investasi
  • Menjaga stabilitas makro (debt/GDP < 60%, inflasi < 7 %, pendapatan pajak non-migas naik 1%.
  • Perbaikan iklim investasi di daerah.
  • Memperkuat dan mendiversifikasi sektor keuangan dengan akses yang lebih merata.
  • Menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.
  • Perbaikan infrastruktur bisnis: pembenahan pengelolaan infrastruktur (jalan, produksi dan pemasaran migas, privatisasi infrastruktur kunci di BUMN, dan sebagainya.
  • Menciptakan sumber pendapatan yang berlanjut bagi kelompok miskin.
Pelayanan publik berkualitas untuk kelompok miskin
  • Percepatan tercapainya target MDG di bidang kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat.
  • Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan untuk kaum miskin dengan memperbesar akses untuk menyelesaikan wajib belajar 6 tahun dan sekolah tingkat lanjut (SLTP) serta dengan meningkatkan kualitas dan akses ke air bersih, menyediakan tenaga kesehatan terlatih, memperbaiki kualitas gizi balita dan kelompok miskin.
Good governance
  • Membuat sistem perencanaan yang lebih aksesibel bagi semua kelompok.
  • Menciptakan peraturan bagi sistem keuangan publik yang transparan di semua tingkat pemerintahan.
  • Desentralisasi yang lebih efektif.
  • Menciptakan sistem hukum dan peradilan yang lebih kredibel dengan memperbaiki langkah pencegahan korupsi, pengawasan kekayaan pejabat, memperbaiki sistem peradilan, dan sebagainya.

Hutagalung (2009) juga menyatakan bahwa program Bank Dunia tahun 2004-2007 untuk di Indonesia berfokus pada tiga hal, yaitu: (1) memperbaiki iklim investasi, (2) menyediakan pelayanan publik yang berkualitas bagi kelompok miskin, dan (3) good governance, sebagaimana tampak dalam Tabel 3 di atas.

2.2.   BANTUAN LUAR NEGERI

Bantuan (aliran modal) luar negeri dari lembaga multilateral dan negara maju (“donor”) ke negara berkembang (“debitur”) dibedakan atas: a) pemberian atau bantuan karitas penuh (“grant”), dan b) pinjaman atau utang (“loan”). Tentu saja berbeda satu sama lain, terutama aspek implikasi yang berbeda karena yang kedua menjadi beban sementara yang pertama tidak. Implikasi beban utang adalah persoalan serius terkait persoalan kinerja pemerintah dan birokrasi yang melaksanakannya. Persoalannya pun bergulir pada aspek kelembagaan tentang bagaimana mengelola dan membayar kembali cicilan pokok dan bunga dari transaksi utang yang telah dilakukan pemerintah (Rachbini, 2001).

Persoalan pokok yang krusial terletak pada jenis bantuan kedua atau utang, yang jumlahnya pada saat ini sangat besar dan merupakan implikasi langsung dari akumulasi dalam masa yang lama. Sedangkan, bantuan dalam bentuk hibah (grant) jumlahnya sangat sedikit, jauh lebih kecil dan sangat jarang diberikan. Bantuan hanya datang untuk hal khusus, seperti bencana alam, pendidikan, lingkungan hidup, demokratisasi dan aktivitas khusus lainnya (Rachbini, 2001).

Utang luar negeri (loan) yang diterima negara-negara berkembang dibedakan atas dana pembangunan resmi (Official Development Fund), kredit ekspor, dan pinjaman swasta. Sedangkan pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia dibedakan atas pinjaman dari CGI (dulu IGGI) dan non-CGI. Pinjaman CGI yang berasal dari donor multilateral, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan UNDP. Pinjaman yang berasal dari donor bilateral CGI, seperti dari USA, Belanda, Jepang, Inggris, Prancis, Jerman, Australia, Kanada, dan Italia. Pinjaman di luar CGI meliputi pinjaman multilateral di luar CGI, pinjaman bilateral di luar CGI, pinjaman dari lembaga keuangan, dan obligasi (Rachbini, 2001).

Utang luar negeri pemerintah tanpa dikaitkan dengan persiapan kelembagaan, mekanisme, dan proses sosial politik yang memayunginya akan menimbulkan distorsi berkelanjutan dan menimbulkan kegagalan dalam mengimplementasikannya di lapangan. Mengapa? Utang luar negeri ini berada dalam domain pemerintah (publik) dan dalam genggaman birokrasi, yang menjadi transmisi dalam mengantarkan proyek-proyek pembangunan di masyarakat (Rachbini, 2001).

Meskipun syarat-syarat pembayaran utang luar negeri telah diusahakan berada dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali, namun kenyataan menunjukkan pemerintah untuk dapat membayar angsuran cicilan pokok dan bunga utang sehingga harus terus membuat utang baru. Bahkan bantuan luar negeri untuk kasus di Indonesia bukan hanya gagal untuk meningkatkan (menstimulasi) atau membiayai sebagian upaya pertumbuhan ekonomi, melainkan sudah merupakan suatu keharusan untuk bisa menumbuhkan ekonomi, meskipun laju pertumbuhan ekonominya sudah sedikit menurun (Rachbini, 2001).

Kondisi ekstrem pada saat krisis ekonomi bahkan menunjukkan bahwa utang luar negeri menjadi “mutlak” diperlukan untuk mengeluarkan Indonesia dari pertumbuhan ekonomi yang negatif (kontraksi) ke kondisi stagnan (pertumbuhan nol), kemudian menuju pertumbuhan ekonomi yang positif. Pemulihan ekonomi berjalan sangat terlambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga, yang bersama-sama mengalami krisis dan juga relatif terikat dengan utang luar negeri. Bahkan pada masa krisis ekonomi yang memuncak, Indonesia mundur ke belakang dan kembali memerlukan bantuan luar negeri untuk kebutuhan yang mendasar (basic need) pangan agar rakyat tidak kelaparan, juga obat-obatan untuk mengurangi kemunduran tingkat kesehatan dan gizi masayarakat, terutama balita. Inilah yang kemudian diwujudkan dalam program paling mendasar atau primer (sebagai hak dasar ekonomi warga negara) melalui Jaring Pengaman Sosial atau Social Safety Net (Rachbini, 2001).

Penggunaan bantuan luar negeri secara normatif digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang produktif dan bermanfaat atas dasar inspirasi dari program Marshall Plan. Tetapi persoalannya pertama, yang dihadapi dalam kenyataan, adalah bahwa sirkulasi uang dari transaksi utang tersebut kembali ke negara donor melalui kontrak dengan pengusaha berasal dari negara pemberi utang, bantuan teknis konsultan, dan prasyarat-prasyarat lainnya yang menguntungkan negara donor. Untuk kasus bantuan Jepang, menurut Prof. Murai dari Sophia University, tidak kurang dari 70% dari aliran uang utang tersebut kembali ke negara asalnya. Yang tertinggal di negara penerima adalah wujud fisik dan non-fisik proyek-proyeknya, yang tidak efisien dan bocor dalam proses lingkar mekanisme keuangan publik (Rachbini, 2001).

Persoalan kedua, bantuan luar negeri merupakan peluang bisnis tanpa resiko dan pasti menghasilkan keuntungan (bahkan di atas normal) bagi pengusaha di negara pemberi pinjaman. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari persyaratan, yang diciptakan oleh negara donor terhadap negara kreditor dan telah menyebabkan uang kembali ke negara asalnya. Mafia-mafia pengusaha di sekitar birokrat asing juga besar jumlahnya. Yang mempunyai telinga tajam dan menempel di dinding-dinding kantor Bank Dunia, Departemen Ekonomi dan Luar Negeri negara donor (Rachbini, 2001).

Persoalan ketiga adalah bantuan luar negeri cenderung diiringi oleh pemborosan pembiayaan pembangunan. Untuk menumbuhkan ekonomi sebesar 1 persen diperlukan peningkatan modal sebesar 4-5 persen. Ini adalah masalah inefisiensi sesuai dengan angka ICOR. Hal ini terjadi karena buruknya birokrasi dan aspek kelembagaan ekonomi politik. Pihak donor juga ikut bertanggung jawab atas kegagalan bantuan luar negeri ini. Mengapa demikian? Selama ini telah terjadi piihan yang “keliru” antara proyek yang produktif dan yang tidak produktif. Proses alokasi dan mekanisme seleksi pemanfaatan sumber yang berasal dari utang luar negeri ini tidak berjalan dengan baik. Semuanya ini akibat ketidakberesan sistem pasar yang berkembang distorsif (Rachbini, 2001).

Pada sisi lain, pihak donor selalu terlibat dengan cermat dan mengawasi (watchdog) setiap tahapan proses bantuan luar negeri dari awal hingga akhir (evaluation). Tetapi hasilnya tetap tidak memadai karena kerangka dasar kelembagaan pendukung transaksi utang luar negeri sangat lemah. Selain itu, pihak donor sebagai “supplier” tidak lepas dari kepentingan mendapatkan manfaat dalam implementasinya, terutama para birokrat asing dan pengusaha yang melingkarinya (Rachbini, 2001).

Hal keempat, pihak donor yang berasal dari negara-negara maju seharusnya mengetahui persoalan kelembagaan non-pasar di negara-negara berkembang seperti ini, seperti masalah penegakan hukum pasar dan birokrasi. Logika ini didasarkan pada pengalaman sejarah negara dan bangsanya sendiri, yang telah berusia ratusan tahun, serta proses modernisasi ekonomi dalam masa yang panjang. Setiap proses pengembangan ekonomi, fiskal dan utang luar negeri, terutama aktivitas dalam lingkup ekonomi publik, selayaknya diikuti dengan pembangunan kelembagaan yang memadai untuk itu, termasuk perbaikan kelembagaan hukum ekonomi dan birokrasi. Namun birokrat-birokrat Bank Dunia menutup mata terhadap kenyataan ini, “seolah-olah tidak hendak tahu” bahwa utang yang dilaksanakan melalui sistem dan mekanisme keuangan publik akan gagal tanpa kelembagaan yang kuat  (Rachbini, 2001).

Kelima, birokrat asing dan para analisnya lupa bahwa kelembagaan berperanan penting sebagai kerangka fondasi yang penting, yang pada gilirannya merusak indikator-indikator ekonomi tersebut jika tidak dikembangkan secara proporsional (Rachbini, 2001).

Dalam jangka pendek, menghindari dan mengatasi perangkap bantuan luar negeri yang berkepanjangan dapat dilakukan dengan cara merestrukturisasi utang luar negeri dan memperbaiki Debt Services Ratio (DSR). Lebih jauh, pemerintah dapat menghapus sebagian bantuan luar negeri (loan) secara selektif untuk proyek-proyek yang sebenarnya tidak layak, tidak efisien, dan tidak bermanfaat. Cara yang terakhir ini dapat ddilakukan dengan diplomasi terhadap negara donor, sekaligus sebagai pertanggungjawaban ppolitik terhadap rakyat (Rachbini, 2001).

Cara menghindari perangkap dalam jangka menengah adalah mengkaji pilihan investasi dengan dasar keuntungan komparatif, melakukan deregulasi yang intensif guna memperbaiki kinerja pasar dan kelembagaan non-pasar, serta melakukan inovasi SWAP tanpa konfrontasi (diplomasi ekonomi). Bahkan jangan menutup kemungkinan cara moratorium seperti yang pernah dilakukan Mexico dan negara Amerika Latin lainnya karena pertimbangan politik bahwa beban yang ditanggung rakyat sudah begitu berat dan menyiksa (Rachbini, 2001).

BAB III

PEMBAHASAN

3.1.   SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BANK DUNIA

Bank Dunia didirikan bersama-sama dengan didirikannya IMF pada tahun 1944 di Britton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat. Bank Dunia dibentuk oleh dua negara promotor dan pendukung utama, yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Tujuan awal didirikannya adalah untuk mencegah berulangnya peristiwa Great Depression sebagaimana pernah terjadi pada sekitar tahun 1930 (Hutagalung, 2009). Hal ini disebabkan perang dunia kedua yang melanda hampir seluruh belahan bumi sangat berpotensi meninggalkan puing-puing perekonomian yang luluh lantak di Eropa dan juga di sebagian besar negara-negara korban perang lainnya.

Entah karena pihak sekutu (yang saat itu sudah didukung oleh Amerika Serikat pascapengeboman Pearl Harbour oleh Jepang) merasa perang tidak akan berlangsung lama lagi ataupun karena alasan lain, tetapi yang jelas setahun setelah didirikannya Bank Dunia perang dunia kedua benar-benar berakhir. Sesuai prediksi, negara-negara korban perang, terutama di Eropa, segera membutuhkan aliran dana segar untuk merekonstruksi perekonomian mereka pascaperang. Prancis tercatat sebagai negara pertama yang mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia senilai 250 juta dolar AS.

Dalam perkembangannya, semakin sedikit negara yang mengalami peperangan, sehingga kebutuhan untuk rekonstruksi pascaperang pun semakin kecil. Pada saat itu, Bank Dunia di bawah kepemimpinan Mc-Namara menggeser fokusnya ke arah pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, terutama di negara-negara dunia ketiga yang notabene tertinggal dari negara maju.

3.2   PERAN BANK DUNIA BAGI DUNIA INTERNASIONAL

Sejak didirikan, Bank Dunia telah mengambil banyak peran bagi perkembangan dunia Internasional. Sebagaimana tujuan didirikannya, Bank Dunia telah membantu negara-negara korban perang, terutama di wilayah Eropa, untuk segera merekonstruksi infrastruktur dan perekonomiannya yang hancur pascaperang dunia kedua. Seteah proses rekonstruksi pascaperang selesai, Bank Dunia memulai peran baru sebagai lembaga pemberi pinjaman uang berbunga rendah untuk negara-negara berkembang yang membutuhkan.

Bank Dunia mendanai proyek-proyek di berbagai negara untuk mengembangkan beberapa hal, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, pengentasan kemiskinan, hingga lingkungan hidup. Bank Dunia seringkali memberikan bantuan dalam bentuk dua hal sekaligus, dana pinjaman dan juga rekomendasi kebijakan, terutama terkait kebijakan keuangan atau yang berhubungan dengan proyek yang didanai.

Bagaikan pisau bermata dua, bantuan dari Bank Dunia dirasakan oleh negara-negara peminjam memberikan dua dampak sekaligus, di mana satu dan yang lainnya saling bertolak belakang. Di satu sisi, bantuan Bank Dunia seringkali merupakan penyelamat keuangan dan perekonomian negara peminjam. Namun di sisi lain, bantuan tersebut juga tidak jarang menimbulkan masalah baru yang kadang jauh lebih besar dari masalah yang telah diatasi.

Negara-negara peminjam biasanya merupakan negara berkembang yang notabene-nya tergolong “miskin”, apalagi jika dibandingkan dengan negara maju. Mereka membutuhkan suntikan modal untuk proyek-proyek di berbagai bidang, meskipun biasanya berujung pada satu harapan, yaitu menggerakkan dan menggeliatkan roda perekonomian. Dengan hal tersebut, mereka bisa mendongkrak keuangan dan pendapatan dalam negeri. Modal inilah yang seringkali tidak bisa mereka dapatkan kecuali melalui lembaga-lembaga keuangan internasional. Dalam konteks ini, Bank Dunia memberikan keuntungan bagi negara-negara peminjam karena biasanya pinjaman yang diberikan tergolong berbunga rendah.

Bergeraknya roda perekonomian merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suatu negara. Dengan roda perekonomian yang terus bergerak positif, negara-negara dunia ketiga memiliki sedikit harapan untuk menyusul atau setidaknya menyamai perekonomian di negara-negara maju. Hal ini tentunya menjadi keinginan seluruh negara berkembang, sehingga tidak mengherankan jika kemudian Bank Dunia dan juga lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya menjadi penyedia “jalan pintas” menuju terwujudnya harapan tersebut.

Jika dilihat secara global, bantuan-bantuan dana kepada masing-masing negara peminjam telah menjadi penyangga, sehingga perekonomian dunia menjadi lebih stabil dan terkendali. Hal ini tentunya juga sesuai dengan tujuan keberadaan dari Bank Dunia. Karena keruntuhan, atau setidaknya kemunduran ekonomi suatu negara (yang mungkin terjadi tanpa bantuan Bank Dunia) dapat berdampak bagi negara-negara lainnya, baik di tingkat regional ataupun multinasional.

Namun masalahnya adalah, seperti yang sudah disebutkan, bahwa bantuan dana tersebut seringkali justru menimbulkan masalah-masalah baru yang kadang jauh lebih serius dari masalah yang telah ditanganinya. Tidak bisa dipungkiri, rata-rata negara peminjam biasanya merupakan negara dengan sistem kelembagaan dan profesionalisme pengelolaan uang yang kurang dibandingkan dengan negara-negara maju.

Analogi sederhananya adalah seperti seorang entrepreneur amatir yang sedang berusaha menjalankan roda bisnisnya dengan uang pinjaman dari investor kaya. Di satu sisi, pinjaman uang tersebut menjadi solusi karena tanpa modal uang pinjaman itu bisnis tidak akan bisa dijalankan sama sekali. Tapi di sisi lain, entrepreneur amatir seperti itu kemungkinan besar tidak ahli dalam pengelolaan modal yang telah diberikan, sehingga resiko kerugiannya sangat besar. Hal ini bisa disebabkan kesalahan dalam menggunakan uang, tidak efektif, tidak efisien, atau bahkan tidak bermanfaat.

Kembali ke konteks negara-negara peminjam, dana pinjaman dari Bank Dunia seringkali digunakan untuk proyek-proyek yang bisa jadi salah sasaran. Alih-alih mengambil keuntungan dari uang pinjaman yang diberikan, justru kerugian yang didapat beserta utang berbunga (meskipun rendah) yang terus menumpuk. Dalam hal inilah kemudian seringkali pinjaman dari Bank Dunia disertai prasyarat-prasyarat ataupun anjuran-anjuran berupa kebijakan keuangan atau kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan proyek yang didanai.

Sayangnya, prasyarat dan anjuran ini justru sering dituding sebagai “biang keladi” kerumitan dan kemelut utang yang menimpa negara-negara peminjam. Bank Dunia dianggap terlalu sering menyamaratakan konsep dan asumsi bagi seluruh negara-negara peminjam, padahal sangat mungkin satu kebijakan yang cocok di satu negara justru merusak jika diterapkan di negara yang lain. Sebagai contoh, liberalisasi keuangan dan kapitalisme yang senantiasa dikampanyekan Bank Dunia (karena didominasi dari sejak pembentukannya oleh dua motor kapitalisme, AS dan Inggris), bisa berdampak sangat negatif jika negara yang menerapkannya tidak memiliki kesiapan yang baik, sebagaimana terjadi pada Indonesia yang mengalami krisis pada tahun 1997.

Prasyarat dan anjuran lain dari Bank Dunia yang sering jadi bahan tudingan adalah mengenai pelaksana atau pihak yang terlibat dalam proyek. Dengan alasan ketidakmampuan negara peminjam untuk secara mandiri menjalankan proyek tersebut karena kendala teknologi dan profesionalisme, Bank Dunia secara eksplisit maupun implisit, secara langsung maupun tidak langsung, seringkali mensyaratkan keterlibatan negara maju yang notabene-nya merupakan negara pendonor dana bantuan itu. Dalam hal ini, negara maju yang dimaksud diminta untuk menjadi semacam “kontraktor” ataupun konsultan yang terlibat langsung dalam menjalankan proyek tersebut. Dampaknya adalah kembalinya aliran uang pinjaman kepada negara peminjam.

Aliran uang pinjaman kepada negara peminjam merupakan salah satu tema sentral yang menjadi bahan kontroversi dari setiap proyek yang didanai Bank Dunia. Hal ini dapat dianalogikan secara sederhana dengan adanya seorang entrepreneur amatir yang meminjam uang untuk berbisnis menjalankan proyek tertentu, tetapi kemudian karena ketidakmampuannya menjalankan proyek, ia justru meng-hire sang pemberi pinjaman. Dengan demikian, yang terjadi adalah entrepreneur tersebut menanggung dua resiko, resiko kerugian dari proyek bisnis yang dijalankan serta resiko menanggung utang dari bunga pinjaman. Sementara di sisi lain, sang peminjam menikmati dua keuntungan, keuntungan gaji ataupun imbalan atas kerjanya sebagai pihak yang menjalankan proyek dan keuntungan dari bunga pinjaman. Bagi pihak peminjam, kerugian atas proyek yang dilaksanakan tidak menjadi masalah baginya, karena uang ganti ruginya pun ditanggung oleh entrepreneur sebagai pihak peminjam.

Kembali ke dalam konteks negara peminjam, alih-alih uang pinjaman menjadi stimulasi untuk menggerakkan roda ekonomi, sebagian besarnya justru menjadi penggerak roda ekonomi di negara pemberi pinjaman. Sementara yang tertinggal di negara peminjam hanyalah bentuk fisik maupun non-fisik hasil dari proyek yang telah dilaksanakan.

Akumulasi dari dampak-dampak negatif di atas adalah kemelut utang yang semakin menumpuk bagi negara peminjam. Selain itu, bisa terjadi kerawanan sosial di dalam negeri peminjam akibat penggunaan dana proyek yang salah sasaran, tidak profesional, atau banyak “kebocoran”. Sehingga mayoritas masyarakat negara peminjam yang seharusnya menikmati uang pinjaman yang diberikan justru merasa tidak mendapat apa-apa, yang ada hanyalah segelintir orang kaya di dalam negeri yang semakin kaya lantaran mendapat bagian “jatah�€� proyek yang telah dilaksanakan.

Jika tidak diselesaikan, akumulasi masalah-masalah yang terjadi di masing-masing negara peminjam dapat terakumulasi lagi menjadi masalah global. Tanpa penanganan dan perhatian serius dari dunia internasional terhadap masalah ini, termasuk Bank Dunia, stabilitas ekonomi global suatu saat dapat sangat terganggu, bahkan mengakibatkan chaos. Alih-alih menjaga kestabilan ekonomi global, mungkin yang dijalankan Bank Dunia dan lembaga keuangan sejenis justru menunda gejolak ekonomi global saat ini, dan menumpuknya hingga “meledak” saat individu dan negara peminjam tidak lagi bisa menampung masalah yang mereka hadapi.

3.3.  PERAN BANK DUNIA TERHADAP INDONESIA

Kebijakan politik pemerintahan Presiden Soekarno yang mendekat ke blok Uni Soviet menyulitkan Bank Dunia yang memiliki paham berseberangan untuk mengambil peran lebih banyak bagi Indonesia. Oleh karena itu, Bank Dunia baru mulai berperan sebagai lembaga pemberi pinjaman bagi Indonesia pada saat awal masa pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu sekitar tahun 1968. Namun sebelum memberikan pinjaman, Bank Dunia “menjajaki” Indonesia dengan memberikan bantuan teknis untuk identifikasi kebijakan makroekonomi, kebijakan sektoral yang diperlukan, dan kebutuhan pendanaan yang kritis (Hutagalung, 2009).

Di masa-masa awal pemberian pinjaman, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang memiliki nilai credit worthiness yang rendah. Oleh karena itu, pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia pada saat itu menggunakan skema IDA atau pinjaman tanpa bunga, kecuali administrative fee ¾ persen per tahun dan jangka waktu pembayaran 35 tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Dana pinjaman pertama yang diberikan kepada Indonesia adalah sebesar 5 juta dolar AS pada September 1968 (Hutagalung, 2009).

Pada masa-masa awal tersebut, dana pinjaman dari Bank Dunia digunakan untuk pembangunan di bidang pertanian, perhubungan, perindustrian, tenaga listrik, dan pembangunan sosial. Pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia berhasil menunjukkan performa ekonomi yang memuaskan, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun, jauh lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi negara peminjam yang lain. Oleh karena itu, sejak akhir dekade 70-an Indonesia sudah mulai dianggap sebagai negara yang lebih creditworthy untuk memperoleh pinjaman Bank Dunia yang konvensional atau dengan menggunakan skema IBRD. Berbeda dari periode sebelumnya, pada dekade 80-an, pinjaman uang Bank Dunia terlihat lebih terarah pada masalah deregulasi sektor keuangan, selain masih tetap digunakan bagi pengembangan sektor-sektor sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Pada awal dekade 90-an hingga sebelum memasuki krisis moneter tahun 1997, Indonesia menunjukkan performa ekonomi yang mengagumkan, bahkan sempat dijuluki sebagai salah satu Asian Miracle. Laporan dan analisis Bank Dunia terhadap perekonomian Indonesia acap kali dihiasi dengan berbagai pujian. Sayangnya, sebagaimana terjadi pada banyak negara lain seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, performa ekonomi yang memikat tersebut ternyata lebih tepat sebagai “penundaan masalah”.

Kekeliruan dan dampak negatif dari bantuan Bank Dunia, baik berupa dana pinjaman maupun anjuran kebijakannya, terbukti nyata (meski bukan faktor satu-satunya) pada saat Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997. Liberalisasi sektor keuangan yang didukung penuh oleh Bank Dunia terbukti tidak cocok, bahkan mencelakakan, Indonesia. Pada saat krisis terjadi, mungkin salah satu bantuan paling berharga yang diberikan oleh Bank Dunia berupa persetujuan atas permintaan pemerintah Indonesia untuk membatalkan pinjaman yang tidak terserap sebesar 1,5 miliar dolar AS dan menyesuaikan (realokasi) pinjaman lainnya sebesar 1 miliar dolar AS untuk membiayai program mendesak, seperti bantuan biaya sekolah, beasiswa, dan jaring pengaman sosial.

Kemudian, pascakrisis yang melanda Indonesia, bantuan Bank Dunia masih terus berlanjut, terutama difokuskan pada kelanjutan pemulihan ekonomi, penciptaan pemerintah yang transparan, dan penyediaan pelayanan umum yang lebih baik, terutama bagi kelompok miskin. Terakhir, Bank Dunia kembali menyetujui dua pinjaman kebijakan pembangunan kepada Indonesia dengan nilai total 800 juta dolar AS untuk mendukung program prioritas reformasi yang dimotori Pemerintah Indonesia pada bulan November 2010 (Purwoko, 2010).

Dari penjelasan tahap demi tahap bantuan Bank Dunia kepada Indonesia sejak tahun 1968, kita dapat melihat betapa besar peran yang dimainkan oleh Bank Dunia terhadap pembangunan dan pasang surut perekonomian nasional. Mulai dari infrastruktur yang dibangun selama dekade 1970-an hingga kebijakan-kebijakan terbaru di era reformasi, semuanya tidak terlepas dari peran Bank Dunia.

Krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997 seharusnya dapat memberi pelajaran berharga mengenai dua mata pisau yang diberikan oleh “bantuan” Bank Dunia. Terlepas dari kontroversi niat dan tujuan pemberian bantuan oleh Bank Dunia, Indonesia sejatinya bisa memilih menjadi negara yang mandiri dan menentukan masa depannya sendiri, mengukur kemampuan membayar dan menghitung jumlah dana yang mungkin dipinjam, menyeleksi proyek yang dijalankan agar sesuai dengan sasaran serta mencapai efektifitas dan efisiensi, menilik kebijakan yang bisa diliberalisasi dan yang tidak, serta membekali diri dengan pengetahuan dan teknologi. Karena bagaimanapun, kejahatan tidak hanya disebabkan niat dari pelakunya, tapi juga kelengahan dan kesempatan yang diberikan oleh korbannya.

BAB IV

KESIMPULAN

Keberadaan Bank Dunia sejak tahun 1944 telah mempengaruhi perekonomian global secara signifikan. Mulai dari rekonstruksi dan rehabilitasi negara-negara korban perang dunia kedua, hingga program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunan berbagai negara berkembang di seantero dunia. Tampaknya kini tidak ada satu negara pun yang terbebas dari pengaruh Bank Dunia, baik kebijakannya, dana pinjamannya, maupun kapitalisme dan liberalisasi keuangan yang dikampanyekannya.

Dalam dua dekade terakhir, Bank Dunia telah banyak membantu negara-negara dunia ketiga dalam permodalan bagi pembangunan dalam negerinya masing-masing. Berbagai proyek, mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, liberalisasi ekonomi dan keuangan, hingga lingkungan hidup menjadi fokus bagi pengucuran dana pinjaman berbunga rendah oleh Bank Dunia. Dengan modal pinjaman inilah, negara-negara berkembang yang notabene adalah negara miskin dan kekurangan modal, memiliki harapan untuk memperbaiki kondisi ekonominya dan mengejar ketertinggalan yang sangat jauh dari negara-negara maju. Bahkan tidak jarang, uang pinjaman inilah yang menjadi penyangga bagi “nafas” perekonomian negara peminjam yang kadang “tersengal-sengal” dihantam badai krisis.

Namun demikian, keberadaan Bank Dunia bukan tanpa kontroversi dan dampak negatif. Kemelut utang tak berujung yang meliputi berbagai negara peminjam seringkali justru menjadi “bumerang�€�. Alih-alih mengatasi masalah perekonomian dalam negeri, seringkali dana pinjaman dari Bank Dunia justru seperti menumpuk masalah di tahun-tahun mendatang yang suatu saat –cepat atau lambat- akan overload dan dapat mengakibatkan chaos. Apalagi banyak ahli ekonomi dari negara-negara peminjam (yang biasanya berdiri di luar pemerintahannya) berkomentar miring dan justru menuding Bank Dunia yang telah menganjurkan kebijakan ekonomi yang menyesatkan dan tidak menyelesaikan masalah. Salah satu penyebabnya adalah aliran uang pinjaman yang masuk seringkali justru kembali lagi ke negara-negara donor, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi negara peminjam.

Bagi Indonesia sendiri, peran Bank Dunia mulai tampak jelas setelah masa pemerintahan Presiden Soekarno yang cenderung dekat dengan poros Uni Soviet berakhir. Hingga saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara yang dipercaya oleh Bank Dunia untuk meminjam dana untuk berbagai keperluan, terutama untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, pelayanan publik, pertanian dan lingkungan hidup.

Namun demikian, sama seperti banyak negara peminjam lainnya, hal ini justru dapat membahayakan perekonomian dalam negeri di masa mendatang jika peminjaman yang dilakukan tidak efisien, tidak bermanfaat, dan juga boros dalam penggunaannya. Bagaimanapun, utang tersebut –beserta bunganya- dapat terus menumpuk hingga Indonesia tak mampu lagi membayarnya jika dibiarkan dilakukan terus menerus tanpa upaya pengurangan utang yang sistematis.

Aliran uang pinjaman yang masuk seharusnya dapat dikendalikan, sehingga tidak hanya menguntungkan dan menambah kekayaan segelintir orang, tetapi juga dapat benar-benar menggerakkan perekonomian nasional, baik secara analisis makro maupun mikro. Karena bagaimanapun, kemandirian dibentuk dan dilakukan oleh kita sendiri. Dana pinjaman hanyalah sarana seperti sebuah pedang, jika kita ahli menggunakannya maka akan menjadikan kita kuat dan sejajar dengan negara manapun, namun jika kita tidak hati-hati menggunakannya, justru dapat “melukai” bahkan “membunuh” kita sendiri, cepat ataupun lambat.

DAFTAR PUSTAKA

Halwani, H. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi (Edisi Kedua). Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor.

Hutagalung, Jannes. 2009. Peran Bank Dunia dan IMF dalam Perekonomian Indonesia Dulu dan Sekarang. Di dalam: Abimanyu, A. dan A. Megantara. 2009. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Perkins, John. 20ǥ. Confessions of an Economic Hit Men, Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Edisi Bahasa Indonesia). Penerbit Abdi Tandur, Jakarta.

Purwoko, Krisman. Bank Dunia Setujui Pinjaman 800 Juta Dolar AS. www.republika.co.id [18 Desember 2010]

Rachbini, Didiek J. 2001. Tanggung Jawab Bank Dunia. Agrimedia Volume 7 Nomor 1.

Susanto, Heri. 2010. Gaji Sri Mulyani di Bank Dunia RpŃ Miliar. www.vivanews.com [18 Desember 2010]